Pernahkan kita menyalahkan segala ketidakberuntungan kita dengan
membandingkannya dengan orang lain?
Tatsuto dan Hirota berteman sejak awal masuk kuliah. Tatsuto yang sering
bingung selalu mengandalkan Hirota sebagai kompasnya. Namun Hirota menyambutnya
dengan hangat.
“Ehmmm, kamu sekelas denganku?” tanya Tatsuto sebagai kalimat perkenalan
pertamanya dengan Hirota empat tahun lalu.
“Yup, aku Hirota, kalau bingung kita bisa mulai sama-sama dari sekarang.”
jawab Hirota dengan ramah, tanpa ragu dan membuat Tatsuto yakin.
Sejak saat itu Tatsuto dan Hirota selalu bersama, pergi bersama, ada dalam
kelompok tugas yang sama. Tatsuto sering mentraktir Hirota yang selalu
membantunya. Karaoke, nonton, makan atau sekedar jajan. Beberapa kali juga
Tatsuto membelikan Hirota novel yang kira-kira Hirota suka. Tatsuto selalu
berterima kasih karena ada Hirota yang selalu membantunya. Saat ia kesulitan
belajar, atau saat ia tidak punya keberanian untuk menghadap dosen atau bagian
kemahasiswaan. Tatsuto orang yang ceria, tapi kurang percaya diri menghadapi
orang yang dia kenal. Tapi dia nyaman bersama Hirota karena Hirota tak pernah
sekalipun mempermasalahkannya. Hirota selalu membantu, dan hadiah-hadiah yang selama
ini ia terima dari Tatsuto ia terima dengan biasa. Tanpa rasa tak enak, tanpa
basa-basi, tanpa menolak atau mempertanyakannya. Persahabatan mereka berjalan
pelan seperti awan yang berarak. Sekali-kali ada mendung tapi tak pernah
pecah sebagai hujan.
Mereka juga saling membantu tanpa pernah pamrih, seperti
suatu hal yang otomatis buat mereka, sesuatu yang alami dan tak terganti. Saat Hirota
yang entah bagaimana tidak bisa berangkat kuliah karena motor kesayangannya
mogok, Tatsuto dengan segala keberaniannya menempuh jarak puluhan kilometer
menjemput Hirota. Jarak terjauh yang ia tempuh menggunakan motor. Dengan tangan
yang masih gemetaran dan peluhnya membasahi kerah bajunya yang berwarna pastel.
“Hhaha, istirahatlah, biar aku yang menyetir...” kata Hirota yang kagum karena
Tatsuto yang selama ini selalu ia bonceng kemana-mana sekarang berdiri di
hadapannya untuk menjemputnya.
Banyak pengalaman persahabatan mereka yang membuat mereka kagum satu sama
lain. Kagum karena kelebihan yang tidak dimiliki atau kelemahan yang semakin
terlihat.
“Hai, bagaimana outline-mu? Sudah sejauh mana?” Hari itu Hirota membuka
percakapan denganTatsuto.
“Entahlah, banyak revisi yang harus kukerjakan...” Tatsuto mengeluh.
“Minggu depan aku seminar, kamu datang ya...”
“Kenapa kamu begitu mudahnya memasukan outline? Minggu depan sudah seminar,
jangan-jangan bulan depan sudah mau wisuda?!!”
Kepala Hirota penuh dengan ucapan Tatsuto. Tapi suara gesekan daun-daun
dari pohon yang menaungi mereka siang itu saja yang bisa terdengar. Haruto masih
memandang Tatsuto yang langsung tertunduk. Perasaan Tatsuto juga tak kalah pedih
karena mengatakan hal yang menyakitkan Haruto. Bukankah selama ini mereka
saling mendukung?
“Aku...hanya ingin...menyemangatimu. Kalau aku tahu seminarku membuatmu
seperti ini, aku pasti akan menunggumu. Aku pikir kamu akan bangga denganku kalau
aku mendahuluimu...”
Hirota pergi meninggalkan Tatsuto yang diam-diam meneteskan air mata. Hanya
tanah yang menyerap air matanya, tahu tangisnya yang begitu dalam. Semua bayangan
kenangannya dengan Hirota terkumpul begitu saja dalam ingatannya. Semua
kebaikan Hirota yang selama ini ia rasakan seperti runtuh karena kata-katanya
yang seperti tuduhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar