^^

^^

Senin, 12 November 2012

Perbandingan dan Ketidakberuntungan (Part 1)




Pernahkan kita menyalahkan segala ketidakberuntungan kita dengan membandingkannya dengan orang lain?

Tatsuto dan Hirota berteman sejak awal masuk kuliah. Tatsuto yang sering bingung selalu mengandalkan Hirota sebagai kompasnya. Namun Hirota menyambutnya dengan hangat.
“Ehmmm, kamu sekelas denganku?” tanya Tatsuto sebagai kalimat perkenalan pertamanya dengan Hirota empat tahun lalu.
“Yup, aku Hirota, kalau bingung kita bisa mulai sama-sama dari sekarang.” jawab Hirota dengan ramah, tanpa ragu dan membuat Tatsuto yakin.

Sejak saat itu Tatsuto dan Hirota selalu bersama, pergi bersama, ada dalam kelompok tugas yang sama. Tatsuto sering mentraktir Hirota yang selalu membantunya. Karaoke, nonton, makan atau sekedar jajan. Beberapa kali juga Tatsuto membelikan Hirota novel yang kira-kira Hirota suka. Tatsuto selalu berterima kasih karena ada Hirota yang selalu membantunya. Saat ia kesulitan belajar, atau saat ia tidak punya keberanian untuk menghadap dosen atau bagian kemahasiswaan. Tatsuto orang yang ceria, tapi kurang percaya diri menghadapi orang yang dia kenal. Tapi dia nyaman bersama Hirota karena Hirota tak pernah sekalipun mempermasalahkannya. Hirota selalu membantu, dan hadiah-hadiah yang selama ini ia terima dari Tatsuto ia terima dengan biasa. Tanpa rasa tak enak, tanpa basa-basi, tanpa menolak atau mempertanyakannya. Persahabatan mereka berjalan pelan seperti awan yang berarak. Sekali-kali ada mendung tapi tak pernah pecah sebagai hujan. 

Mereka juga saling membantu tanpa pernah pamrih, seperti suatu hal yang otomatis buat mereka, sesuatu yang alami dan tak terganti. Saat Hirota yang entah bagaimana tidak bisa berangkat kuliah karena motor kesayangannya mogok, Tatsuto dengan segala keberaniannya menempuh jarak puluhan kilometer menjemput Hirota. Jarak terjauh yang ia tempuh menggunakan motor. Dengan tangan yang masih gemetaran dan peluhnya membasahi kerah bajunya yang berwarna pastel.
“Hhaha, istirahatlah, biar aku yang menyetir...” kata Hirota yang kagum karena Tatsuto yang selama ini selalu ia bonceng kemana-mana sekarang berdiri di hadapannya untuk menjemputnya.

Banyak pengalaman persahabatan mereka yang membuat mereka kagum satu sama lain. Kagum karena kelebihan yang tidak dimiliki atau kelemahan yang semakin terlihat.
“Hai, bagaimana outline-mu? Sudah sejauh mana?” Hari itu Hirota membuka percakapan denganTatsuto.
“Entahlah, banyak revisi yang harus kukerjakan...” Tatsuto mengeluh.
“Minggu depan aku seminar, kamu datang ya...”
“Kenapa kamu begitu mudahnya memasukan outline? Minggu depan sudah seminar, jangan-jangan bulan depan sudah mau wisuda?!!”

Kepala Hirota penuh dengan ucapan Tatsuto. Tapi suara gesekan daun-daun dari pohon yang menaungi mereka siang itu saja yang bisa terdengar. Haruto masih memandang Tatsuto yang langsung tertunduk. Perasaan Tatsuto juga tak kalah pedih karena mengatakan hal yang menyakitkan Haruto. Bukankah selama ini mereka saling mendukung?

“Aku...hanya ingin...menyemangatimu. Kalau aku tahu seminarku membuatmu seperti ini, aku pasti akan menunggumu. Aku pikir kamu akan bangga denganku kalau aku mendahuluimu...”

Hirota pergi meninggalkan Tatsuto yang diam-diam meneteskan air mata. Hanya tanah yang menyerap air matanya, tahu tangisnya yang begitu dalam. Semua bayangan kenangannya dengan Hirota terkumpul begitu saja dalam ingatannya. Semua kebaikan Hirota yang selama ini ia rasakan seperti runtuh karena kata-katanya yang seperti tuduhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar